SELAMAT DATANG!!!!

Maaf blog ini hanya untuk manusia, jadi batu, air, upil, jerawat dan sebangsanya tidak diijinkan untuk membaca kecuali bisa menunjukkan jempolnya.

Senin, 13 November 2017

THE STORY

Selamat malam, atau pagi, atau siang, kapanpun anda membaca ini.

Aku disini mencoba bercerita seobyektif mungkin. Perlu diingat bahwa semua ini adalah cerita dari sudut pandang aku, diriku. Dan seperti kalian semua tahu, sebuah cerita tidak hanya memiliki satu sudut pandang. Dalam usaha agar cerita ini obyektif, aku akan bercerita berdasarkan fakta. Semampunya aku akan mengesampingkan semua hal yang hanya berisi asumsi.

So, here we go.

Mulai dari mana ya. hem......

Pada cerita pendahuluan kemarin aku sempet nyinggung point-point yang menjadi asal mula semua kekacauan ini. Salah satunya ortu. Untuk ortuku, sebenernya cukup easy going. Mamah setuju2 saja. Dan papa kayaknya oke sih. Apalagi sempat kami, ya aku dan dia, pergi nyekar dan mengirimkan doa ke kuburan papa. Yup, atas inisiatif dia sendiri. Dia secara tiba-tiba mengajakku untuk ke Probolinggo dan nyekar papa. Aku kaget, tentunya. Tapi senang. Okay sure, let's go. And we go.

Aku sebenarnya cukup sering kesana, tapi ga pernah nyetir sendiri. Sampe kota Probolinggo, we lost. Lebih spesifik, I lost. Di kota yang saya anggap kampung halaman, saya tersesat. So malu, ya kan. Dengan beberapa bantuan keluarga dan GPS, akhirnya kami sampai disana. Penjaga tampak terkejut, karena aku memang ga bilang2 kl kesana. Setelah buru2 membersihkan kuburan papa, dia duduk di samping kuburan dan mulai membaca doa. Secara Islam, karena papa memang Islam. Di bawah terik matahari, dia membaca surat yasin. Lengkap. Dan ternyata surat itu panjang. Aku yang ga ngerti bacaannya cm bs mendampingi sambil bawa payung agar ga terlalu kepanasan.

Sepanjang bacaan, aku cm bs terkesima. My heart skip another beat, a tears drop. Aku dalam hati berkata, pah, ini pacarku, cocok ga pa? Waktu aku noleh ke dia lagi, dia pun menangis. Aku sempat tanyakan, katanya entah kenapa dia merasa ingin sekali kesana dan bacakan doa.Well, at that moment, I was happy. Setelah doa dan lain-lain, kami bertamasya di Probolinggo. Sampe rumah mama keheranan, tapi sepertinya mama jg senang. Yah, as simple as that, mama ngasi lampu ijo. Bahkan nutup perempatan dan mensterilkan jalanan buat kami.

Lalu, untuk ortunya, awalnya cukup alot. Karena waktu itu kami berbeda agama. Di saat itu, sebenarnya aku sudah cukup tertarik dengan agama mereka. Aku sudah belajar beberapa hal, dan sering jg berdiskusi dengan dia tentang hal-hal yang membuatku teratarik. Aku hanya membutuhkan satu moment yang membuatku yakin untuk berganti agama. Dia pun cerita bahwa ortunya cukup senang melihat perjalanan agamaku. Tapi entah kenapa, mereka tetap menemukan hal-hal yang membuat mereka ga yakin denganku. Aku sadar aku msh pemula, dan berniat belajar tentang itu semua. Jadi aku ga terlalu mempermasalahkan.

Everything seems so fine and good. Hingga suatu hari muncul pembahasan tentang masa depan. Ya, mereka menanyakan rencana kami seperti apa. At first i was nervous. Selama hidup aku ga pernah membuat rencana lebih jauh dari hitungan bulan. Bahkan tahun depan ngapain aku ga pernah tau. Tapi senang jg, berarti aku dipertimbangkan. Mereka mau liat proposal yang aku punya untuk anak mereka.

Dalam keadaan cukup mendadak akupun berpikir. Mau ga mau pasti dipikirkan to? Akhirnya tercetuslah ide bahwa nanti kami tinggal di kampung halamanku. Sehingga aku  bs lebih dekat dalam mengawasi, dan aku sudah ada modal tanah disana. Tinggal dibangun gitukan. Dia pun cukup bersemangat, dia mencari-cari lowongan yang dibuka di daerah sana. Setelah rencana itu dia utarakan ke ortunya, ortunya cukup terkejut. Kenapa? Karena anaknya sudah lama tinggal di kota besar, dan nanti mau tinggal di kota kecil? Malah penurunan dong kan? Kerja apa pula nanti di kota kecil begitu.

Sebenarnya hal yang paling memberatkan mereka adalah, anak perempuannya bakal jauh dari mereka di masa tua nanti. Mungkin di pikiran mereka, yang akan menemani dan mengurusi mereka saat tua nanti adalah anak perempuannya. Kalau jauh gitu, bakal susah dong. Cukup masuk akal. Akupun ga mau jauh2 dari mama saat tua nanti, meskipun sekarang jg cukup berumur dia, hehehehehhe.

Oke balik ke awal lagi semuanya. Setelah beberapa pembahasan, disetujui kita tetap di sini. Dan aku akan pulang kampung seminggu dua kali, atau tiga kali bila ada masalah. No big deal, cukup dekat kok. Sehari PP ga bikin badan hancur. Masih lebih parah bersepeda seharian, dan saya sudah pernah merasakan itu. It's do-able. Sure. Oke. Kita lakukan Plan B.

Setelah menentukan melakukan Plan B, muncul pertanyaan berikutnya. Rumahnya ada? Dimana? Well..... I don't have any house, kecuali rumah keluarga ini. Oke. nyari sekarang ato nanti kan sama aja kan? Maka dimulailah pencarian itu. Karena kami pemula dlm hal cari mencari rumah, yang bisa kami lakukan adalah ke pameran perumahan. Dan saat berkeliling disana, aku cukup terkejut dengan fakta2 bahwa rumah itu mahal gilak. Apalagi di Surabaya, suprisingly mahal. at least for me. Untuk beberapa dari kalian mungkin tidak terasa mahal. You're so lucky, bersyukurlah. Semakin lama pencarian rumah semakin membuat depresi. Mama yang mengetahui hal itu membantu beberapa kali. Tapi seperti kisah klasik perjalanan mencari rumah. Rumah yang diinginkan, harganya tak terjangkau. Rumah yang terjangkau, adaaaa aja yang ga pas di hati.

Mengingat ini perkara rumah yang akan ditinggali dalam waktu yang luama. Aku ga mau main-main dalam hal ini. Hingga aku pun berkata jujur, bahwa aku tidak bs membeli rumah dalam waktu dekat. Dana masih dipergunakan untuk pengembangan usaha, beneran, waktu itu mencicil truk baru, dan membeli truk2 bekas. Aku bilang ke dia, kita kan tidak berniat menikah dalam waktu dekat, sebaiknya rumahnya dipending dl ya. Misal aku beli sekarang, dan berencana menikah 4 tahun lagi, waktu kita bahas itu msh 4 tahun lg. Rumah itu akan mangkrak. Mungkin bisa disewakan, tapi kalo disewakan, nantinya ya bakal beli rumah baru untuk ditinggali kan. Rumah yang disewakan itu mungkin sudah butuh renovasi agar bs ditinggali. Dia setuju. Aku lega.

Aku sebenarnya menyadari kalau masalah ini butuh kesabaran dan usaha lebih. Dan aku pun melakukannya. Setelah cukup lama, sekitar setahun eh dua tahun ada kayaknya, mereka sudah cukup menerima aku. Aku pernah mengantarkan kakaknya ke bandara, dia sepertinya oke2 saja dengan kami. Aku pun sempat mengantarkan mamanya ke stasiun, menjemput mereka sekeluarga dari Juanda. Sempat mengobrol basa-basi, yang penting kan diterima ngobrol bukan diusir kan. So happy kan ya. Hingga akhirnya muncullah kejadian "ITU".

Sebelum ke "ITU" ada beberapa hal yang perlu diceritakan, agar situasinya jelas.

Kalian sudah aku ceritakan to ya. Keadaan saat itu, dia merasa aku menghalangi pertemanan dia. Well, aku mungkin sedikit menghalangi. Jadi jauh dalam lubuk hati aku merasa, umur dia msh muda. Perjalanan dia masih panjang. Dia butuh pengalaman2 yang seharusnya dia alami sesuai dengan umur dia. Gitu kan ya. Maka aku pun agak melonggar. Sebelumnya, saat dia jalan2 dengan teman2nya, aku chat. ya bukan apa-apa sih, tanya kabar aja. Cuma aku kadang keterlaluan hingga terasa terlalu investigatif. Okay. I understand. Dan dalam beberapa kali dia maen, aku pun tidak chat sama sekali. Awalnya aku kesulitan, tp setelah beberapa kali aku mulai terbiasa. Karena dia memang cukup mandiri, bahkan lebih mandiri daripada teman-temannya seumuran.

Okay, time goes dengan keadaan seperti itu. Hingga akhrinya ada beberapa insiden yang ga mengenakkan. Sungguh. Dan itu terjadi saat dia pergi dengan teman-temannya. Dan aku ga chat karena percaya dia. Seperti kataku dahulu, aku percaya dia, penuh, tapi aku kesulitan untuk percaya teman-temannya. Dan saat itu ucapanku sedikit terbukti. Seperti yang bisa diduga, kamipun berdebat cukup keras dan panjang. Debat berkutat pada, apakah dia perlu mau ngapa-ngapain ijin dulu, baru gini udah ngatur2, dan bahwa kenyataannya saat dia ga ngabarin terjadi hal itu, meskipun kejadian itu tidak berakhir buruk. Aku tetap keukeh bahwa hal itu bisa buruk, dan kalau memang terjadi hal buruk bisa diatasi kalau dia ngabarin aku. Debat tidak berujung baik. bahkan dia semakin merasa bahwa aku mengekang hidupnya. aku hanya khawatir, bila dia ga ngabarin, gimana aku bs ngasi pertolongan di saat dia butuh. Tapi sepertinya saat itu aku cukup emosi, sehingga pesan yang tersampaikan bukan itu.

Dalam keadaan seperti itu, dia pun makin merasa aku mengekang hidupnya. Dan aku makin merasa bersalah, mungkin memang aku terlalu keras.

Hingga suatu hari, temannya SMA, atau kuliah ya, antara itu lah. Berkata mereka akan pergi ke acara stand up gunung yang digagas oleh sebuah universitas. Wow, keren jg. Tapi, acara seminggu lagi. Dan acara stand up gunung kayaknya ada camping2. Aku pun agak khawatir, aku tau dia mudah sakit dalam keadaan dingin, mau camping2 dengan persiapan hanya seminggu. Damn, i was so worried.

Aku pun mulai mempertanyakan segala hal. Bakal nginep dimana, kemah kah, hotel kah, atau apakah. Lalu menanyakan jadwal kegiatannya, dia kesana naek apa, disana naek apa, pulangnya gimana. Semuanya, sehingga dia gerah dan seperti yang bisa ditebak, marah.

Aku bertanya tentang semua itu bukan tanpa alasan sebenarnya. Aku cukup lama hidup di bumi ini untuk mengetahui bahwa acara2 seperti itu seringkali dimulai sore menjelang malam, dan molor. Sehingga acara benar2 mulai saat malam, dan benar2 selesai saat larut malam. Saat aku mengetahui bahwa dia akan berangkat naek kereta, dan pulang naek kereta pagi2 setelah acara, aku khawatir sekali. Aku paham benar kebiasaan dia. Untuk packing dan lain-lain mungkin dia masih bisa memaksakan setelah acara yang larut malam itu kan. Tapi untuk ke stasiun subuh2, aku agak ga percaya dia bisa. Aku benar-benar paham sifat dan kebiasaan dia. Saat kuliah aja dia kesulitan untuk kelas pagi, setelah begadang garap tugas malam sebelumnya. Apalagi ini mau ke stasiun subuh-subuh, untuk mengejar kereta pertama pagi itu.

Tapi karena dia sudah marah saat itu. Aku hanya bisa melepas kepergiannya, dan banyak berdoa.

Di hari kepergiannya, aku berusaha memberikan sedikit kejutan kecil. Aku ingin muncul di stasiun secara tiba-tiba. Bertujuan agar kami bisa berbaikan, dan dia pergi kesana dalam keadaan kami sudah berdamai. Namun apa daya, aku salah melihat jadwal. Aku sampai di stasiun 15 menit setelah dia dipanggil masuk ke kereta. Dan aku menunggu cukup lama untuk mengetahui kesalahan itu. Menyadari aku salah jadwal, aku mencoba menelpon dia. Mencoba berbaikan melalui telepon. Dan menyesali semuanya dalam mobil. Sekarang ini, aku cukup menyesal. Mungkin, mungkin saja, bila aku tak terlambat, dan kami berdamai sebelum dia berangkat, mungkin kejadian 'ITU' tak terjadi. at least, tidak separah ini.

Aku lupa dia pergi untuk berapa hari. Kalo ga salah dua hari semalam. Atau tiga hari dua malam. Entahlah, aku merasa waktu berlalu cukup cepat. Selama dia pergi, aku hanya mencoba mengingatkan dia tentang jadwal kereta. Aku ga berani terlalu banyak bertanya. Aku tak mau membuat keadaan lebih parah dari ini. Hingga aku mendapat info darinya, bahwa acara itu dimulai malam. Jreng. Namun dia berkata bahwa mereka tak hendak menonton hingga selesai. Hanya awal-awal dan balik ke hotel. Baiklah, cukup bisa diterima. Lalu hari kepulangan tiba. Aku bangun subuh mencoba membangunkan dia. Aku coba telp sekali hingga tiga kali. Tak ada jawaban. Ah mungkin dia kerepotan mengejar kereta. Aku juga cukup paham bahwa saat repot seperti itu dia bakal marah bila aku menelepon berkali-kali. Oke, aku tunggu. Hingga sejam setelah jadwal keberangkatan keretanya, aku mencoba telpon. Tetap ga diangkat. Aku coba telpon lagi, dan dia menjawab. Dia terdengar panik, karena dia baru bangun...... Dia ketinggalan kereta pulang.

Aku panik. Hari itu dia seharusnya pulang lebih awal, dan teman-temannya pulang di sore harinya. Tapi dia ketinggalan kereta pagi. Aku langsung mencoba mencari tiket pulang lain. Secara online. Entah mengapa, semua penuh. Semua kereta penuh, semua jadwal. Aku pun langsung mencari tiket pesawat. Dan sama. Semua penuh, ada satu tiket kosong, jadwal sore. Aku mencoba kontak dia, mencari tahu apakah dia sudah dapat tiket ato blm. Karena aku bisa memesankan tiket untuknya bila belum.

Aku mencoba telpon beberapa kali, akhirnya dia terima. Dia terdengar cukup panik. Aku bertanya perihal rencana dia pulang, dia hanya berkata sedang gupuh dan meminta agar aku telpon lagi nanti. Well, aku bisa memahami. Baiklah, nanti aku telpon lagi, mungkin dia sudah punya rencana pulang. Sambil menunggu aku terus mengecek tiket pesawat itu. Hanya satu dan satu-satunya. Aku bingung, khawatir bahwa tiket itu akan diambil orang. Tiket untuk pulang hanya satu, namun tiket untuk kesana ada buanyak. Aku pun berpikir untuk membeli tiket kesana, agar aku dapat menemani dia apapun rencana dia untuk pulang itu. Aku pikir itu rencana yang cukup baik. Hanya dalam waktu kurang dari sejam aku bisa di sisinya, menemani dia agar tidak pusing sendirian.

Beberapa jam setelahnya, aku coba telpon lagi. Tapi dia membalas dengan chat. Dia bilang sudah membeli tiket pulang dengan pesawat. Aku cukup lega, tiket satu-satunya itu ternyata diambil oleh dia. Baiklah. Namun insting detektif-detektifan ku bergetar cukup kencang. Bagaimana cara dia beli tiket itu? Tadi aku cek harga tiket itu cukup mahal. Dan aku cukup ingat keadaan tabungan dia saat itu. Aku berusaha menenangkan diri, ah mungkin aku salah ingat, mungkin tabungan dia sudah bertambah, mungkin dia pinjam pada temannya dulu. Aku berusaha tenang. Yang penting dia sudah aman.

Setelah chat itu, aku tetap kesulitan berkomunikasi dengannya. Aku pun masih berpikiran positif, mungkin dia tak mau diganggu saat bersama teman-temannya. Seperti yang dia ungkapkan selama ini. Dan karena aku tak mau terlihat menghalangi dia bergaul, aku pun pasrah. Lalu dia memberikan jadwal penerbangannya, aku berinisatif untuk menjempunya di bandara. Selain karena aku ingin memastikan sendiri dia pulang dengan selamat, dia pulang cukup malam, bila menggunakan taksi aku cukup khawatir.

Waktu berlalu, aku pun bergegas ke bandara untuk menjemputnya. Karena terlalu bersemangat, aku sampai disana setengah jam lebih awal dari jadwal pesawat dia mendarat. Ah menunggu setengah jam bukan masalah. Setelah segala kepanikan tadi, setengah jam bukan hal yang besar. Aku duduk menunggu sambil membaca novel yang kubawa. Setengah jam kemudian, tak ada tanda-tanda bahwa pesawat sudah mendarat. Aku cek papan berita kedatangan pesawat, benar saja. ternyata sempat ada delay. Jadwal mundur setengah jam. Akupun menunggu lagi. Setengah jam lagi bukan apa-apa, santai saja.

Empat puluh lima menit kemudian, Pesawat dia mendarat. Aku pun langsung berdiri mencoba menyambut dia. Tapi dia masih menunggu antrian turun dari pesawat. Aku menjadi tak sabar. Ah lama sekali pesawat itu parkir. Lama sekali dia loading barang. Ah orang-orang itu berjalan lambat sekali.

Aku lihat ada kerumunan orang keluar dari pintu bandara. Aku mencari-cari wajah yang kukenal. Wajah yang kurindukan. Wajah yang ingin aku lihat setiap hari saat aku bangun dan akan tidur. aaah mana sih. Untuk beberapa menit aku hanya melihat kerumunan orang yang tak kukenal. Lalu aku melihatnya. Ya itu dia. Dia benar-benar sudah pulang. Aku tersenyum lebar. Segala pertanyaan yang muncul dari insting detektif-detektifan ku aku simpan rapat-rapat. Aku hanya ingin menyambut dia dalam tawa bahagia.

Aku ambil tas dari tangannya. Aku genggang erat-erat tangan itu, sambil berkata, hai,  ayok pulang. Aku tersenyum, dia pun tersenyum. Sekilas aku lihat guratan kecemasan dari wajahnya. Aku tak ambil pusing, aku hanya senang dia pulang. Aku terus tersenyum dalam perjalanan ke mobil. Kami terus bergandengan tangan. Setelah aku masukkan barangnya dan menyalakan kendaraan, dia mulai berkata, Sayang, aku mau cerita. Dan semua pertanyaan yang kusimpan rapat-rapat menyeruak keluar. Tapi aku tutup mulutku rapat-rapat. Aku hanya ingin mendengar dia ceritanya. Mulutku terbuka pelan, memasang filter di sana. Aku berkata, Ya, ada apa?

Saat itu aku tak mengerti bahwa itulah saat-saat terakhir dari keadaan damai bahagia kami. Itulah awal dari segala masalah, kerumitan, pertengkaran, tangis, dan lebih banyak tangis lagi. Saat itu aku melihat dirinya lekat-lekat, mencoba mendengar ceritanya. Mataku melihat wajahnya, namun pikiranku kacau. Seperti badai datang silih berganti. Satu demi satu pertanyaan muncul menuntut jawaban segera, namun mulutku terkatup rapat. Aku berusaha keras mencerna kata-kata yang keluar dari mulutnya. Aku hampir tak percaya hal-hal seperti ini bisa muncul di dunia nyata. Bukan rekaan dan khayalan seorang sutradara dan penulis naskah roman picisan.

Dia mengawali ceritanya dari keadaan dia bangun terlambat. Sebelumnya dia berpesan agar mendengar dl ceritanya dengan hati tenang. Dia memohon agar aku meredam emosiku. Aku sanggupi. Dia bercerita bahwa dia naek pesawat, dan berkata bahwa tabungannya ga cukup. Ah, satu pertanyaan terjawab, ternyata memang benar ingatanku. Lalu bagaimana bisa dia pulang? Dia berkata, aku mencoba menelpon temanku di sana, meminta tolong untuk memesankan tiket pulang. Temannya datang dan memberikan dia tiket satu-satunya untuk pulang hari itu. Tiket yang sempat ingin aku beli. Namun ternyata temannya itu memiliki agenda lain. Saat temannya datang, saat itu pula aku menelpon. Temannya melihat dia menerima telpon dan bertanya, siapa, dia jawab teman. Tetapi temannya itu berkata, aku tau kl itu pacarmu. Hemmm, agar ga bingung teman ini aku kasih nama aja ya. Tenang, ini nama rekaan. Kita panggil saja temannya itu bunglon.

Bunglon berkata, dia tau kl yang telpon pacar kan. Dia tak bisa berkata lain. Dia bilang iya. Seketika itu Bunglon sekarat, napasnya putus2. Dan saat itu bunglon meminta ditemani ke rumah sakit.Di rumah sakit, Bunglon menerima pertolongan darurat. Di saat seperti itu jelas pacarku bingung sekali. Ada apa ini. Lalu Bunglon menceritakan penyakit nya yang cukup kritis. Mematikan lah. Setelah bercerita itu, bunglon mengungkapkan tujuan dia sebenarnya. Bunglon ingin agar kami putus dan dia berpasangan dengna Bunglon. Ternyata mereka dulunya pernah dekat. Saat itu bisa dibilang mereka mantan gebetan, dan mereka tidak lagi dekat karena keputusan pacarku saat itu. Dia bilang, si bunglon ini terlalu mengekang, lebih parah daripadaku.

Disaat penuh kepanikan itu, dia kebingungan. Apa yang harus dilakukan. Melihat bunglon sekarat dan seolah mengungkapkan keinginan terakhir dr hidupnya. Dia benar-benar bingung. Bunglon tak mau melepas kesempatan itu, dia terus bertanya dan memaksa jawaban saat itu juga. Karena merasa itu dying wish dari bunglon, jawaban yang terlontar adalah iya.

Aku melihat dia dalam tatapan panik. Kepalaku terus menerus mencoba mencerna segala yang dia ungkapkan. Apa? Siapa? Bagaimana? Kenapa? Pertanyaan demi pertanyaan muncul silih berganti. Dia mencoba menutup kisahnya dengan pertanyaan, aku bisa apa dalam keadaan seperti itu. Aku pun tak bisa menjawab. Aku hanya menjawab aku tak tau, tapi kamu memberikan jawaban penuh harapan ke bunglon. Lalu aku bertanya, sekarang kita gimana. Dia meminta ijin dariku. Ijin untuk menemani dia secara LDR. Yup, saat itu, detik itu, orang yang aku kasihi, orang yang menjadi fokus rasa sayangku, meminta ijin untuk membagi waktu dan (mungkin) perasaannya dengan orang lain.

Duniaku serasa gelap. Runtuh satu demi satu. Aku memberikan pertanyaan yang sebenarnya cukup bodoh. Bila aku tak mengijinkan, apa yang terjadi? Dia memberikan jawaban yang sebenarnya cukup bisa ditebak, kalo kamu ga kasih ijin, kita break sejenak, aku khawatir dia makin sakit kalo aku ga menyediakan waktu. Kira-kira seperti itu yang aku tangkap. Aku cukup lupa apa yang benar-benar dia katakan saat itu.

Aku terdiam. Di satu sisi aku kasihan dengan dia. Dia dijebak oleh bunglon. Didesak dan dimanipulasi. Tapi disisi lain, aku kecewa, kenapa dia ga bisa tega dan cuek saja. Toh hidup mati orang siapa yang tau.

Hati kecilku berbisik, hei, kau lupa, yang membuat kau jatuh cinta pada dirinya, ya sifatnya ini. Sifat dia yang tak tegaan. Yang penuh kasih, pada siapapun. Kucing terlantar selalu dia rawat. Anggap saja bunglon ini kucing sekarat. Temani dia dalam kekacauan ini, bantu dia, hanya sementara aja kan. Setelah kucing ini cukup sehat, kamu bisa meminta dia untuk meninggalkannya.

Aku terdiam, terus menimbang-nimbang. Sebenarnya aku paham bahwa ini pintu masuk daripada neraka. Neraka di atas dunia. Duniaku. Namun aku jg tak tega. Bunglon menjebak dia. Dia korban. Dan bisikan hati kecilku makin terdengar keras.

Setelah berpikir cukup lama, aku memberikan jawaban. Baiklah, kita hadapi masalah ini bersama-sama ya. Aku temani kamu, kita cari solusi masalah ini bersama. Dia tersenyum. Aku tersenyum.

Mobil mulai berjalan pulang. Sepanjang perjalanan kami hampir tak berkata apa-apa lagi. Aku terus memegang tangannya. Mencoba mengingatkan bahwa aku disini buat kamu. Jangan takut. Aku berusaha keras agar tidak terlarut dalam emosi. Hingga sampai di rumahnya, dan kamipun berpisah.

Di perjalanan pulang aku terus mengulang-ulang kejadian tadi. Apakah ini tindakan benar? Apakah yang bisa dilakukan untuk ini? Apakah ini semua benar-benar terjadi? bukan mimpi kan ya. Ah aku pusing. Aku rebahkan diri di kasur mencoba tidur. Biarlah, masalah ini dipikirkan besok. Aku terlalu lelah.

Aku tak tahu, bahwa ini adalah awal dari serangkaian dilema dan prahara.

TO BE CONTINUED

Rabu, 08 November 2017

Halo Halo semua.

Mohon maaf aku belum bisa memenuhi janji untuk bercerita segalanya.
Kalau ada yang bilang Tuhan itu seorang komedian, aku setuju.
Bagaimana tidak, beberapa kali Allah membuat sebuah ironis yang sebenarnya cukup lucu. Namun sebagai orang yang menjalaninya, aku masih belum bisa tertawa. Paling tidak saat ini. Mungkin nanti.

Para pembaca lama pasti ingat dengan marmuts, pacarku yang perdana. Yup, dia. Kalo kalian termasuk pembaca baru, coba baca2 postinganku yang lama-lama deh. Kalian bakal ngerti.

Saat aku putus sama dia, itu salah satu moment terendah yang pernah aku alami. Saat itu Papa baru-baru saja meninggal, beberapa bulan setelahnya dia meminta putus. Meskipun sebenarnya aku sudah merasakan tanda-tanda itu beberapa lama sebelumnya, rasa sakitnya masih sama. Perih dan nyeri mendalam.

Dalam beberapa waktu terjadi dua hal besar, Papa meninggal, dan putus cinta pertama. Dua hal itu cukup membuat dunia runtuh seketika. Skripsi saat itu hampir-hampir tidak menarik lagi untuk dilanjutkan. Bahkan rumahpun menjadi begitu dingin dan sepi tanpa suara Papa. Namun beberapa kali aku mimpi dimarahin Papa. Hingga membuatku bersemangat lagi menyelesaikan skripsi. Semata karena Papa beberapa kali berkata, bahwa salah satu harapan dia adalah aku menyelesaikan skripsi secepatnya. Ternyata ini maksud dari perkataan dia, kalau ga secepatnya dia ga bisa liat aku wisuda.

Dengan sisa-sisa semangat hidup aku menyelesaikan skripsi. Wisuda pun aku lalui dengan sepi dan tanpa makna. Dalam hati aku berkata, Pa, ini aku wes wisuda. Berharap masih bisa menyenangkan hatinya meski agak terlambat. Saat wisuda mama sakit, makin lengkaplah rasa sepi itu. Wisuda kulalui dengan senyum yang dipaksakan, melihat kawan2 begitu bersemangat menunjukkan toga dan surat kelulusannya ke orang tua masing-masing. Aku hanya bs mbatin dalam hati. Setelah foto-foto sejenak, menunjukkan rasa terimakasih pada mereka-mereka yang telah banyak membantuku  menyelesaikan kehidupan perkuliahan, aku pun pergi dalam diam. Langsung ke rumah, dan memaksa diri tidur.

Setelah sekian lama, pola ini terjadi lagi. Aku putus saat aku benar-benar membutuhkan kehadiran sesosok penyemangat. Yap, aku putus beberapa saat lalu, saat aku menyadari bahwa perusahaan memiliki hutang pajak yang cukup besar. Bahkan saat aku mengetik ini, aku mempunyai dateline 12 hari untuk menyelesaikan laporan pajak. Namun apa daya, pikiran begitu berkecamuk. Perlu dilampiaskan.

Saat ini aku benar-benar merasa sendiri. Saudara dan mama membantu cukup banyak, namun laporan yang harus dikerjakan begitu banyak hingga aku merasa diri ini ingin menyerah saja. Dan ya, beberapa bulan sebelumnya saya sudah putus.

Putus kali ini begitu menyesakkan. Karena ada beberapa detail yang disembunyikan dariku. Meskipun akhirnya semua terjawab dengan sendirinya, semua hanya membuat rasa sakit dan perih itu semakin dalam.

Lihat kedua pola yang begitu mirip ini, sungguh ironis bukan? Keduanya muncul saat saya membutuhkan seorang teman, seorang penyemangat. Sungguh sebuah komedi tingkat tinggi dari Allah. Ya, suatu hari nanti aku akan ikut tertawa bersamaMu. Namun kali ini, aku belum bisa, maaf ya.

Aku sebelumnya sudah menumpahkan sebagian di blog saya yang baru. Kalau pengen tau tinggal cari saja. Semuanya tentang Mayonice, kalau digoogle dikit pasti ketemu kok. Hai. ini sedikit tambahan aja. Setelah aku coba google ternyata ga susah jg. Mayonice nama yang cukup banyak dipake. Jadi daripada nyusahin, aku bagikan aja ya. Nama blog tambahan itu "Deep Inside Mayonice". Blog ini isinya adalah tumpahan pikiran dan hati nyaris tanpa filter. Semoga kedua blog yang saya asuh ini bisa terus bertahan ya. Doakan aja.

Terimakasih sudah menyimak uneg-uneg ku ya.
Selamat siang semuanya.

Minggu, 08 Oktober 2017

Halo!

Yak. Benar. Saya mayoNICE datang lagi. Kali ini, saya akan menjelaskan sejelasnya apa yang telah terjadi belakangan ini.

Seperti kata filsuf ternama. "Life is an endless series of train-wrecks with only brief, commercial-like breaks of happiness."

Yup. Hidup lu itu, kayak serangkaian kejadian parah ga karuan dengan beberapa kebahagiaan yang muncul sepert iklan di tipi. Pernah denger? Itu quote dari filsuf yang telah mengalami banyak hal dalam hidupnya. Dia adalah Wade Wilson, atau lebih dikenal dengan nama Deadpool.

Pernah ga kalian merasa, pada suatu titik, hidup kalian itu hanyalah serangkaian FTv siang hari yang sering ditonton sama mamah2 atau para asisten rumah tangga saat istirahat siang? Hidup kalian hanya berpindah dari satu judul ke judul lain. Dalam beberapa bulan, kalian ada pada episode "Cintaku Ketinggalan di Kantin Kampus." Lalu setelah itu berganti ke "Kekasih Salah Alamat." Dan diakhiri pada episode pamungkas "Gelas-Gelas Kaca." Kalian ga tau Gelas-Gelas Kaca? Hapah? Google gih, memalukan.

Mengapa saya dapat berkata seperti itu? Ya karena ternyata hidup ini hanyalah serangkaian drama yang susul-menyusul, satu episode ke episode lain. Dengan beberapa selingan moment-moment kebahagiaan. Persis seperti kata Mas Wade.

Pada postingan kemarin saya sempat bercerita tentang lowest low of my life kan? Namun belum sempat memberikan penjelasan. Kali ini saya akan mencoba menjelaskan, sebenarnya apa sih yang terjadi. Apa sih yang bikin saya menyimpulkan bahwa itu adalah titik terendah dalam hidup? Mungkin aja saya hanya ge-er. Sebenarnya peristiwa itu hanyalah hal biasa, dan saya yang terlalu mendramatisir? Bisa, bisa jadi. tunggu lah. Akan saya ungkap semua, akan saya bongkar sedalam-dalamnya, akan saya iris-iris, dengan Silet. *Lalu zoom in ke mata melotot, zoom out secara dramatis*

Sebelum masuk pada Cerita Utama, saya akan memberikan Cerita pendahuluan. Agar kalian semua  memahami setiap peristiwa yang saya alami. Istilahnya memberikan background agar kalian mendapat sudut pandang saya dalam menyingkapi beberapa hal yang saya alami. 

Oke tanpa berbelit-belit, saya mulai ceritanya.

Pada suatu hari.......

CERITA PENDAHULUAN


Sebaiknya saya cerita dari mana ya. Hem....

Ah, kalian ingat tentang gadis yang saya temui di acara lari? Yup the special girl that could make my heart skip a beat setiap melihatnya. Jadi saya dan dia memutuskan bahwa kami spesial untuk satu sama lain. Berkomitmen untuk menjadi seseorang satu-satunya yang spesial di hati masing-masing.

Ya, kami berpacaran.

Selama proses berpacaran itu, saya bahagia. Dia juga mengaku bahagia tanpa paksaan atau tekanan dari siapapun. Lalu, dalam beberapa kesempatan, saya mengungkapkan bahwa tidak ada lelaki yang mampu berteman secara murni dengan seorang wanita. Lelaki selalu menyimpan perasaan suka ataupun nafsu terhadap teman wanitanya. Tidak ada yang murni berteman.

Itu salah satu kesimpulan yang saya buat setelah hidup selama 27 tahun, waktu ngomong gitu saya masih umur 27, dengan pengalaman bergebet dan berteman dengan banyak orang. Saya menyimpulkan bahwa lelaki yang berteman akrab dengan wanita, pastilah mereka punya sejarah tersendiri. Entah mereka mantan pacar, mantan gebetan, mantan calon gebetan, atau mantan cinta bertepuk sebelah tangan. Kalian boleh diam sejenak dan memikirkannya, coba inget-inget teman akrab kalian, dan coba tarik kesimpulan dari sana. Untuk wanita saya ga terlalu paham, karena saya lelaki tulen, dan saya blm mampu memecahkan rumitnya pemikiran wanita. Untuk wanita, boleh-boleh saja menanyakan ke teman akrabnya yang cowok, apakah dia pernah atau masih punya perasaan spesial ke anda. Boleh dicoba. Dites, hasilnya kirim email ato tulis di komentar ya. Saya jg penasaran hahahahhaha

Oke lanjut.

Saya berkata seperti itu tidak ujug2 ngomong, tetapi karena ada suatu permasalah yang menurut saya cukup serius. Dia punya teman akrab, cowok, yang sudah dekat sejak SMP. Kalo ga salah SMP. Mereka sangat dekat, hingga cowok itu pernah mengaku, bahwa cowok itu akan menjaga dia seperti menjaga adeknya sendiri. Classic Kakak-Adek case ya.

Setelah saya ungkapkan seperti itu, dia ga percaya. Katanya ga mungkin cowok itu punya rasa, soalnya cowok itu pernah punya pacar. Dan pacarnya itu kriterianya jauh banget dari dia. Jadi ga mungkin tu cowok naksir. Gitu menurutnya.

Setelah beberapa kali diskusi, kami mengalami remis. Dia keukuh ga percaya, tapi ga mau nanya buat membuktikan. Saya keukuh pada teori awal, namun gimana mau membuktikan, la wong saya ga kenal tu cowok. Oke, seperti yang kalian tahu, berdebat tanpa dasar itu ga guna, apalagi sama pacar kan. Saya sudahi saja. Tapi perkataan saya ternyata cukup melekat di kepala dia. Tapi dengan pesan yang berbeda. Pesan yang dia tangkap adalah, saya cemburu sama teman dekatnya. *JRENG JRENG JRENG*

Okelah, saya memang pencemburu. Belum tahap pencemburu berat, saya selalu berusaha rasional, jadi setiap cemburu saya selalu beralasan rasional pula. Dalam hal ini, saya cukup yakin bahwa cowok itu memang naksir. Namun belum bernyali untuk ngaku.

Selesai itu, beberapa kali kami berdebat masalah teman cowok ini. Dia benar-benar tidak bisa melihat niatan tersembunyi dari para cowok yang menjadi teman dekatnya. Terutama yang jomblo, kalo yang sudah berpacar sih saya agak cuek. Dan saya benar-benar bisa membaca arah tujuan dari para cowok itu. Kenapa? Karena saya pun seperti itu saat naksir cewek. Terutama waktu masih ngampus dulu. Dengan berbagai modus operandi, inti dari tindakan mereka sama persis dengan saya.

Namun karena dia keras kepala, dia ga percaya begitu saja. Alasannya karena dia tidak merasa dispesialkan oleh mereka. Namun apalah dia dibandingkan dengan pengalaman saya menggebet begitu banyak cewek dan ditolak berkali-kali? Yah perdebatan sengit selalu muncul saat membahas teman dekat ini.

Diapun sebenarnya punya problem khas cewek yang saya taksir. Susah akrab sama sesama cewek, dan merasa berteman dengan cowok itu lebih ringan dalam hal beban pikiran dan hati. Saya akuin, berteman dengan cowok itu lebih simple. Mereka bilang A ya A, jarang berarti B. Namun karena cowok itu simple, saya jadi mudah membaca cara berpikir mereka. hahahhahahhaah

Karena hal ini muncul cukup sering. Dia pun marah, bagaimana dia bisa berteman dengan orang baru kalau saya seperti ini. Sebenarnya saya oke saja dia berteman dengan orang baru, cowok pun g masalah, sampe akrab pun ga masalah. Masalah yang cukup mengganjal buat saya sebenarnya, dia jarang mengenalkan saya ke teman-temannya, terutama yang cowok. Kalo yang cewek sih sudah sering. Beberapa kali saya menamani mereka jalan-jalan. Oke-oke saja, tapi yang cowok ini ga pernah. Katanya cowok-cowok itu tukang gosip, dan suka sensi.

Pernah saya bertemu dengan teman-teman cowoknya, tanpa rencana. Jadi saya berniat jalan sendiri, dan dia jalan dengan teman-temannya. Ga sengaja ketemu, lah mereka aneh banget. Kayak menghindari gitu. Iya kalo saya sok cool, diem ga ngomong apa-apa kan. La saya itu ngajak ngobrol, tapi tanggapannya mengecewakan. Maka dia pun menyerah, menganggap bahwa teman-teman cowoknya ga bakal bisa nyambung dengan saya.

Kejadian-kejadian itu ternyata cukup membekas di pikirannya. Dia sempat kesal karena kesulitan berteman. Dan saya semakin mempersulit dia. 

Itu salah satu faktor yang berperan dalam cerita utama.

Faktor lain, adalah orang tuanya. Orang tuanya cukup keberatan mengetahui bahwa anak perempuan meraka dekat dengan saya. Mungkin bisa dipahami karena memang jarak umur kami cukup besar, yaitu 7 tahun. Yup 7 tahun sebenarnya g terlalu besar juga. Kita sering melihat ada lelaki umur 40 menikah dengan wanita umur 25. Mereka bahagia, dan aman saja meski beda umurnya 15 tahun.

Tapi itu hanya masalah persepsi, coba bila ceweknya umur 17, atau 18 tahun. Beda umurnya tetap 15 tahun, jadi cowonya umur 32 tahun. Terasa berbeda kan? Padahal di kedua kasus beda umur sama-sama 15 tahun. Ya, itu lah, makanya saya maklum pada orangtuanya. Saat anak gadisnya mengaku dekat dengan saya. Dia baru saja merayakan ultahnya yang ke 18. Dan saya saat itu berumur 25 tahun. Cukup bisa dipahami ya.

Selain masalah umur, mereka cukup keberatan karena saat itu, kami berbeda agama. Agak old school alesannya, tapi yaaaa masih bisa dipahami lah ya.

Saya pribadi sebenarnya agak tertarik dengan ajaran agamanya dia. Jadi saat akhirnya kami berpacaran, perlahan saya belajar, sambil nunggu waktu yang tepat dan hati yang mantap untuk akhirnya berpacaran dalam satu payung agama.

Dari cerita pengantar ini saja, kalian bisa membayangkan, kehidupan saya kalo jadi FTv itu udah berapa judul. hahahahhaaha Untuk sementara, saya merasa pendahuluannya cukup. Bila nanti ada yang perlu saya tambahkan, akan ditambahkan langsung di cerita, flashback gitu lah. hahahahahaha

Sementara ini dulu ya.

Tunggu episode akan datang.

Bhabhay.