SELAMAT DATANG!!!!

Maaf blog ini hanya untuk manusia, jadi batu, air, upil, jerawat dan sebangsanya tidak diijinkan untuk membaca kecuali bisa menunjukkan jempolnya.

Senin, 13 November 2017

THE STORY

Selamat malam, atau pagi, atau siang, kapanpun anda membaca ini.

Aku disini mencoba bercerita seobyektif mungkin. Perlu diingat bahwa semua ini adalah cerita dari sudut pandang aku, diriku. Dan seperti kalian semua tahu, sebuah cerita tidak hanya memiliki satu sudut pandang. Dalam usaha agar cerita ini obyektif, aku akan bercerita berdasarkan fakta. Semampunya aku akan mengesampingkan semua hal yang hanya berisi asumsi.

So, here we go.

Mulai dari mana ya. hem......

Pada cerita pendahuluan kemarin aku sempet nyinggung point-point yang menjadi asal mula semua kekacauan ini. Salah satunya ortu. Untuk ortuku, sebenernya cukup easy going. Mamah setuju2 saja. Dan papa kayaknya oke sih. Apalagi sempat kami, ya aku dan dia, pergi nyekar dan mengirimkan doa ke kuburan papa. Yup, atas inisiatif dia sendiri. Dia secara tiba-tiba mengajakku untuk ke Probolinggo dan nyekar papa. Aku kaget, tentunya. Tapi senang. Okay sure, let's go. And we go.

Aku sebenarnya cukup sering kesana, tapi ga pernah nyetir sendiri. Sampe kota Probolinggo, we lost. Lebih spesifik, I lost. Di kota yang saya anggap kampung halaman, saya tersesat. So malu, ya kan. Dengan beberapa bantuan keluarga dan GPS, akhirnya kami sampai disana. Penjaga tampak terkejut, karena aku memang ga bilang2 kl kesana. Setelah buru2 membersihkan kuburan papa, dia duduk di samping kuburan dan mulai membaca doa. Secara Islam, karena papa memang Islam. Di bawah terik matahari, dia membaca surat yasin. Lengkap. Dan ternyata surat itu panjang. Aku yang ga ngerti bacaannya cm bs mendampingi sambil bawa payung agar ga terlalu kepanasan.

Sepanjang bacaan, aku cm bs terkesima. My heart skip another beat, a tears drop. Aku dalam hati berkata, pah, ini pacarku, cocok ga pa? Waktu aku noleh ke dia lagi, dia pun menangis. Aku sempat tanyakan, katanya entah kenapa dia merasa ingin sekali kesana dan bacakan doa.Well, at that moment, I was happy. Setelah doa dan lain-lain, kami bertamasya di Probolinggo. Sampe rumah mama keheranan, tapi sepertinya mama jg senang. Yah, as simple as that, mama ngasi lampu ijo. Bahkan nutup perempatan dan mensterilkan jalanan buat kami.

Lalu, untuk ortunya, awalnya cukup alot. Karena waktu itu kami berbeda agama. Di saat itu, sebenarnya aku sudah cukup tertarik dengan agama mereka. Aku sudah belajar beberapa hal, dan sering jg berdiskusi dengan dia tentang hal-hal yang membuatku teratarik. Aku hanya membutuhkan satu moment yang membuatku yakin untuk berganti agama. Dia pun cerita bahwa ortunya cukup senang melihat perjalanan agamaku. Tapi entah kenapa, mereka tetap menemukan hal-hal yang membuat mereka ga yakin denganku. Aku sadar aku msh pemula, dan berniat belajar tentang itu semua. Jadi aku ga terlalu mempermasalahkan.

Everything seems so fine and good. Hingga suatu hari muncul pembahasan tentang masa depan. Ya, mereka menanyakan rencana kami seperti apa. At first i was nervous. Selama hidup aku ga pernah membuat rencana lebih jauh dari hitungan bulan. Bahkan tahun depan ngapain aku ga pernah tau. Tapi senang jg, berarti aku dipertimbangkan. Mereka mau liat proposal yang aku punya untuk anak mereka.

Dalam keadaan cukup mendadak akupun berpikir. Mau ga mau pasti dipikirkan to? Akhirnya tercetuslah ide bahwa nanti kami tinggal di kampung halamanku. Sehingga aku  bs lebih dekat dalam mengawasi, dan aku sudah ada modal tanah disana. Tinggal dibangun gitukan. Dia pun cukup bersemangat, dia mencari-cari lowongan yang dibuka di daerah sana. Setelah rencana itu dia utarakan ke ortunya, ortunya cukup terkejut. Kenapa? Karena anaknya sudah lama tinggal di kota besar, dan nanti mau tinggal di kota kecil? Malah penurunan dong kan? Kerja apa pula nanti di kota kecil begitu.

Sebenarnya hal yang paling memberatkan mereka adalah, anak perempuannya bakal jauh dari mereka di masa tua nanti. Mungkin di pikiran mereka, yang akan menemani dan mengurusi mereka saat tua nanti adalah anak perempuannya. Kalau jauh gitu, bakal susah dong. Cukup masuk akal. Akupun ga mau jauh2 dari mama saat tua nanti, meskipun sekarang jg cukup berumur dia, hehehehehhe.

Oke balik ke awal lagi semuanya. Setelah beberapa pembahasan, disetujui kita tetap di sini. Dan aku akan pulang kampung seminggu dua kali, atau tiga kali bila ada masalah. No big deal, cukup dekat kok. Sehari PP ga bikin badan hancur. Masih lebih parah bersepeda seharian, dan saya sudah pernah merasakan itu. It's do-able. Sure. Oke. Kita lakukan Plan B.

Setelah menentukan melakukan Plan B, muncul pertanyaan berikutnya. Rumahnya ada? Dimana? Well..... I don't have any house, kecuali rumah keluarga ini. Oke. nyari sekarang ato nanti kan sama aja kan? Maka dimulailah pencarian itu. Karena kami pemula dlm hal cari mencari rumah, yang bisa kami lakukan adalah ke pameran perumahan. Dan saat berkeliling disana, aku cukup terkejut dengan fakta2 bahwa rumah itu mahal gilak. Apalagi di Surabaya, suprisingly mahal. at least for me. Untuk beberapa dari kalian mungkin tidak terasa mahal. You're so lucky, bersyukurlah. Semakin lama pencarian rumah semakin membuat depresi. Mama yang mengetahui hal itu membantu beberapa kali. Tapi seperti kisah klasik perjalanan mencari rumah. Rumah yang diinginkan, harganya tak terjangkau. Rumah yang terjangkau, adaaaa aja yang ga pas di hati.

Mengingat ini perkara rumah yang akan ditinggali dalam waktu yang luama. Aku ga mau main-main dalam hal ini. Hingga aku pun berkata jujur, bahwa aku tidak bs membeli rumah dalam waktu dekat. Dana masih dipergunakan untuk pengembangan usaha, beneran, waktu itu mencicil truk baru, dan membeli truk2 bekas. Aku bilang ke dia, kita kan tidak berniat menikah dalam waktu dekat, sebaiknya rumahnya dipending dl ya. Misal aku beli sekarang, dan berencana menikah 4 tahun lagi, waktu kita bahas itu msh 4 tahun lg. Rumah itu akan mangkrak. Mungkin bisa disewakan, tapi kalo disewakan, nantinya ya bakal beli rumah baru untuk ditinggali kan. Rumah yang disewakan itu mungkin sudah butuh renovasi agar bs ditinggali. Dia setuju. Aku lega.

Aku sebenarnya menyadari kalau masalah ini butuh kesabaran dan usaha lebih. Dan aku pun melakukannya. Setelah cukup lama, sekitar setahun eh dua tahun ada kayaknya, mereka sudah cukup menerima aku. Aku pernah mengantarkan kakaknya ke bandara, dia sepertinya oke2 saja dengan kami. Aku pun sempat mengantarkan mamanya ke stasiun, menjemput mereka sekeluarga dari Juanda. Sempat mengobrol basa-basi, yang penting kan diterima ngobrol bukan diusir kan. So happy kan ya. Hingga akhirnya muncullah kejadian "ITU".

Sebelum ke "ITU" ada beberapa hal yang perlu diceritakan, agar situasinya jelas.

Kalian sudah aku ceritakan to ya. Keadaan saat itu, dia merasa aku menghalangi pertemanan dia. Well, aku mungkin sedikit menghalangi. Jadi jauh dalam lubuk hati aku merasa, umur dia msh muda. Perjalanan dia masih panjang. Dia butuh pengalaman2 yang seharusnya dia alami sesuai dengan umur dia. Gitu kan ya. Maka aku pun agak melonggar. Sebelumnya, saat dia jalan2 dengan teman2nya, aku chat. ya bukan apa-apa sih, tanya kabar aja. Cuma aku kadang keterlaluan hingga terasa terlalu investigatif. Okay. I understand. Dan dalam beberapa kali dia maen, aku pun tidak chat sama sekali. Awalnya aku kesulitan, tp setelah beberapa kali aku mulai terbiasa. Karena dia memang cukup mandiri, bahkan lebih mandiri daripada teman-temannya seumuran.

Okay, time goes dengan keadaan seperti itu. Hingga akhrinya ada beberapa insiden yang ga mengenakkan. Sungguh. Dan itu terjadi saat dia pergi dengan teman-temannya. Dan aku ga chat karena percaya dia. Seperti kataku dahulu, aku percaya dia, penuh, tapi aku kesulitan untuk percaya teman-temannya. Dan saat itu ucapanku sedikit terbukti. Seperti yang bisa diduga, kamipun berdebat cukup keras dan panjang. Debat berkutat pada, apakah dia perlu mau ngapa-ngapain ijin dulu, baru gini udah ngatur2, dan bahwa kenyataannya saat dia ga ngabarin terjadi hal itu, meskipun kejadian itu tidak berakhir buruk. Aku tetap keukeh bahwa hal itu bisa buruk, dan kalau memang terjadi hal buruk bisa diatasi kalau dia ngabarin aku. Debat tidak berujung baik. bahkan dia semakin merasa bahwa aku mengekang hidupnya. aku hanya khawatir, bila dia ga ngabarin, gimana aku bs ngasi pertolongan di saat dia butuh. Tapi sepertinya saat itu aku cukup emosi, sehingga pesan yang tersampaikan bukan itu.

Dalam keadaan seperti itu, dia pun makin merasa aku mengekang hidupnya. Dan aku makin merasa bersalah, mungkin memang aku terlalu keras.

Hingga suatu hari, temannya SMA, atau kuliah ya, antara itu lah. Berkata mereka akan pergi ke acara stand up gunung yang digagas oleh sebuah universitas. Wow, keren jg. Tapi, acara seminggu lagi. Dan acara stand up gunung kayaknya ada camping2. Aku pun agak khawatir, aku tau dia mudah sakit dalam keadaan dingin, mau camping2 dengan persiapan hanya seminggu. Damn, i was so worried.

Aku pun mulai mempertanyakan segala hal. Bakal nginep dimana, kemah kah, hotel kah, atau apakah. Lalu menanyakan jadwal kegiatannya, dia kesana naek apa, disana naek apa, pulangnya gimana. Semuanya, sehingga dia gerah dan seperti yang bisa ditebak, marah.

Aku bertanya tentang semua itu bukan tanpa alasan sebenarnya. Aku cukup lama hidup di bumi ini untuk mengetahui bahwa acara2 seperti itu seringkali dimulai sore menjelang malam, dan molor. Sehingga acara benar2 mulai saat malam, dan benar2 selesai saat larut malam. Saat aku mengetahui bahwa dia akan berangkat naek kereta, dan pulang naek kereta pagi2 setelah acara, aku khawatir sekali. Aku paham benar kebiasaan dia. Untuk packing dan lain-lain mungkin dia masih bisa memaksakan setelah acara yang larut malam itu kan. Tapi untuk ke stasiun subuh2, aku agak ga percaya dia bisa. Aku benar-benar paham sifat dan kebiasaan dia. Saat kuliah aja dia kesulitan untuk kelas pagi, setelah begadang garap tugas malam sebelumnya. Apalagi ini mau ke stasiun subuh-subuh, untuk mengejar kereta pertama pagi itu.

Tapi karena dia sudah marah saat itu. Aku hanya bisa melepas kepergiannya, dan banyak berdoa.

Di hari kepergiannya, aku berusaha memberikan sedikit kejutan kecil. Aku ingin muncul di stasiun secara tiba-tiba. Bertujuan agar kami bisa berbaikan, dan dia pergi kesana dalam keadaan kami sudah berdamai. Namun apa daya, aku salah melihat jadwal. Aku sampai di stasiun 15 menit setelah dia dipanggil masuk ke kereta. Dan aku menunggu cukup lama untuk mengetahui kesalahan itu. Menyadari aku salah jadwal, aku mencoba menelpon dia. Mencoba berbaikan melalui telepon. Dan menyesali semuanya dalam mobil. Sekarang ini, aku cukup menyesal. Mungkin, mungkin saja, bila aku tak terlambat, dan kami berdamai sebelum dia berangkat, mungkin kejadian 'ITU' tak terjadi. at least, tidak separah ini.

Aku lupa dia pergi untuk berapa hari. Kalo ga salah dua hari semalam. Atau tiga hari dua malam. Entahlah, aku merasa waktu berlalu cukup cepat. Selama dia pergi, aku hanya mencoba mengingatkan dia tentang jadwal kereta. Aku ga berani terlalu banyak bertanya. Aku tak mau membuat keadaan lebih parah dari ini. Hingga aku mendapat info darinya, bahwa acara itu dimulai malam. Jreng. Namun dia berkata bahwa mereka tak hendak menonton hingga selesai. Hanya awal-awal dan balik ke hotel. Baiklah, cukup bisa diterima. Lalu hari kepulangan tiba. Aku bangun subuh mencoba membangunkan dia. Aku coba telp sekali hingga tiga kali. Tak ada jawaban. Ah mungkin dia kerepotan mengejar kereta. Aku juga cukup paham bahwa saat repot seperti itu dia bakal marah bila aku menelepon berkali-kali. Oke, aku tunggu. Hingga sejam setelah jadwal keberangkatan keretanya, aku mencoba telpon. Tetap ga diangkat. Aku coba telpon lagi, dan dia menjawab. Dia terdengar panik, karena dia baru bangun...... Dia ketinggalan kereta pulang.

Aku panik. Hari itu dia seharusnya pulang lebih awal, dan teman-temannya pulang di sore harinya. Tapi dia ketinggalan kereta pagi. Aku langsung mencoba mencari tiket pulang lain. Secara online. Entah mengapa, semua penuh. Semua kereta penuh, semua jadwal. Aku pun langsung mencari tiket pesawat. Dan sama. Semua penuh, ada satu tiket kosong, jadwal sore. Aku mencoba kontak dia, mencari tahu apakah dia sudah dapat tiket ato blm. Karena aku bisa memesankan tiket untuknya bila belum.

Aku mencoba telpon beberapa kali, akhirnya dia terima. Dia terdengar cukup panik. Aku bertanya perihal rencana dia pulang, dia hanya berkata sedang gupuh dan meminta agar aku telpon lagi nanti. Well, aku bisa memahami. Baiklah, nanti aku telpon lagi, mungkin dia sudah punya rencana pulang. Sambil menunggu aku terus mengecek tiket pesawat itu. Hanya satu dan satu-satunya. Aku bingung, khawatir bahwa tiket itu akan diambil orang. Tiket untuk pulang hanya satu, namun tiket untuk kesana ada buanyak. Aku pun berpikir untuk membeli tiket kesana, agar aku dapat menemani dia apapun rencana dia untuk pulang itu. Aku pikir itu rencana yang cukup baik. Hanya dalam waktu kurang dari sejam aku bisa di sisinya, menemani dia agar tidak pusing sendirian.

Beberapa jam setelahnya, aku coba telpon lagi. Tapi dia membalas dengan chat. Dia bilang sudah membeli tiket pulang dengan pesawat. Aku cukup lega, tiket satu-satunya itu ternyata diambil oleh dia. Baiklah. Namun insting detektif-detektifan ku bergetar cukup kencang. Bagaimana cara dia beli tiket itu? Tadi aku cek harga tiket itu cukup mahal. Dan aku cukup ingat keadaan tabungan dia saat itu. Aku berusaha menenangkan diri, ah mungkin aku salah ingat, mungkin tabungan dia sudah bertambah, mungkin dia pinjam pada temannya dulu. Aku berusaha tenang. Yang penting dia sudah aman.

Setelah chat itu, aku tetap kesulitan berkomunikasi dengannya. Aku pun masih berpikiran positif, mungkin dia tak mau diganggu saat bersama teman-temannya. Seperti yang dia ungkapkan selama ini. Dan karena aku tak mau terlihat menghalangi dia bergaul, aku pun pasrah. Lalu dia memberikan jadwal penerbangannya, aku berinisatif untuk menjempunya di bandara. Selain karena aku ingin memastikan sendiri dia pulang dengan selamat, dia pulang cukup malam, bila menggunakan taksi aku cukup khawatir.

Waktu berlalu, aku pun bergegas ke bandara untuk menjemputnya. Karena terlalu bersemangat, aku sampai disana setengah jam lebih awal dari jadwal pesawat dia mendarat. Ah menunggu setengah jam bukan masalah. Setelah segala kepanikan tadi, setengah jam bukan hal yang besar. Aku duduk menunggu sambil membaca novel yang kubawa. Setengah jam kemudian, tak ada tanda-tanda bahwa pesawat sudah mendarat. Aku cek papan berita kedatangan pesawat, benar saja. ternyata sempat ada delay. Jadwal mundur setengah jam. Akupun menunggu lagi. Setengah jam lagi bukan apa-apa, santai saja.

Empat puluh lima menit kemudian, Pesawat dia mendarat. Aku pun langsung berdiri mencoba menyambut dia. Tapi dia masih menunggu antrian turun dari pesawat. Aku menjadi tak sabar. Ah lama sekali pesawat itu parkir. Lama sekali dia loading barang. Ah orang-orang itu berjalan lambat sekali.

Aku lihat ada kerumunan orang keluar dari pintu bandara. Aku mencari-cari wajah yang kukenal. Wajah yang kurindukan. Wajah yang ingin aku lihat setiap hari saat aku bangun dan akan tidur. aaah mana sih. Untuk beberapa menit aku hanya melihat kerumunan orang yang tak kukenal. Lalu aku melihatnya. Ya itu dia. Dia benar-benar sudah pulang. Aku tersenyum lebar. Segala pertanyaan yang muncul dari insting detektif-detektifan ku aku simpan rapat-rapat. Aku hanya ingin menyambut dia dalam tawa bahagia.

Aku ambil tas dari tangannya. Aku genggang erat-erat tangan itu, sambil berkata, hai,  ayok pulang. Aku tersenyum, dia pun tersenyum. Sekilas aku lihat guratan kecemasan dari wajahnya. Aku tak ambil pusing, aku hanya senang dia pulang. Aku terus tersenyum dalam perjalanan ke mobil. Kami terus bergandengan tangan. Setelah aku masukkan barangnya dan menyalakan kendaraan, dia mulai berkata, Sayang, aku mau cerita. Dan semua pertanyaan yang kusimpan rapat-rapat menyeruak keluar. Tapi aku tutup mulutku rapat-rapat. Aku hanya ingin mendengar dia ceritanya. Mulutku terbuka pelan, memasang filter di sana. Aku berkata, Ya, ada apa?

Saat itu aku tak mengerti bahwa itulah saat-saat terakhir dari keadaan damai bahagia kami. Itulah awal dari segala masalah, kerumitan, pertengkaran, tangis, dan lebih banyak tangis lagi. Saat itu aku melihat dirinya lekat-lekat, mencoba mendengar ceritanya. Mataku melihat wajahnya, namun pikiranku kacau. Seperti badai datang silih berganti. Satu demi satu pertanyaan muncul menuntut jawaban segera, namun mulutku terkatup rapat. Aku berusaha keras mencerna kata-kata yang keluar dari mulutnya. Aku hampir tak percaya hal-hal seperti ini bisa muncul di dunia nyata. Bukan rekaan dan khayalan seorang sutradara dan penulis naskah roman picisan.

Dia mengawali ceritanya dari keadaan dia bangun terlambat. Sebelumnya dia berpesan agar mendengar dl ceritanya dengan hati tenang. Dia memohon agar aku meredam emosiku. Aku sanggupi. Dia bercerita bahwa dia naek pesawat, dan berkata bahwa tabungannya ga cukup. Ah, satu pertanyaan terjawab, ternyata memang benar ingatanku. Lalu bagaimana bisa dia pulang? Dia berkata, aku mencoba menelpon temanku di sana, meminta tolong untuk memesankan tiket pulang. Temannya datang dan memberikan dia tiket satu-satunya untuk pulang hari itu. Tiket yang sempat ingin aku beli. Namun ternyata temannya itu memiliki agenda lain. Saat temannya datang, saat itu pula aku menelpon. Temannya melihat dia menerima telpon dan bertanya, siapa, dia jawab teman. Tetapi temannya itu berkata, aku tau kl itu pacarmu. Hemmm, agar ga bingung teman ini aku kasih nama aja ya. Tenang, ini nama rekaan. Kita panggil saja temannya itu bunglon.

Bunglon berkata, dia tau kl yang telpon pacar kan. Dia tak bisa berkata lain. Dia bilang iya. Seketika itu Bunglon sekarat, napasnya putus2. Dan saat itu bunglon meminta ditemani ke rumah sakit.Di rumah sakit, Bunglon menerima pertolongan darurat. Di saat seperti itu jelas pacarku bingung sekali. Ada apa ini. Lalu Bunglon menceritakan penyakit nya yang cukup kritis. Mematikan lah. Setelah bercerita itu, bunglon mengungkapkan tujuan dia sebenarnya. Bunglon ingin agar kami putus dan dia berpasangan dengna Bunglon. Ternyata mereka dulunya pernah dekat. Saat itu bisa dibilang mereka mantan gebetan, dan mereka tidak lagi dekat karena keputusan pacarku saat itu. Dia bilang, si bunglon ini terlalu mengekang, lebih parah daripadaku.

Disaat penuh kepanikan itu, dia kebingungan. Apa yang harus dilakukan. Melihat bunglon sekarat dan seolah mengungkapkan keinginan terakhir dr hidupnya. Dia benar-benar bingung. Bunglon tak mau melepas kesempatan itu, dia terus bertanya dan memaksa jawaban saat itu juga. Karena merasa itu dying wish dari bunglon, jawaban yang terlontar adalah iya.

Aku melihat dia dalam tatapan panik. Kepalaku terus menerus mencoba mencerna segala yang dia ungkapkan. Apa? Siapa? Bagaimana? Kenapa? Pertanyaan demi pertanyaan muncul silih berganti. Dia mencoba menutup kisahnya dengan pertanyaan, aku bisa apa dalam keadaan seperti itu. Aku pun tak bisa menjawab. Aku hanya menjawab aku tak tau, tapi kamu memberikan jawaban penuh harapan ke bunglon. Lalu aku bertanya, sekarang kita gimana. Dia meminta ijin dariku. Ijin untuk menemani dia secara LDR. Yup, saat itu, detik itu, orang yang aku kasihi, orang yang menjadi fokus rasa sayangku, meminta ijin untuk membagi waktu dan (mungkin) perasaannya dengan orang lain.

Duniaku serasa gelap. Runtuh satu demi satu. Aku memberikan pertanyaan yang sebenarnya cukup bodoh. Bila aku tak mengijinkan, apa yang terjadi? Dia memberikan jawaban yang sebenarnya cukup bisa ditebak, kalo kamu ga kasih ijin, kita break sejenak, aku khawatir dia makin sakit kalo aku ga menyediakan waktu. Kira-kira seperti itu yang aku tangkap. Aku cukup lupa apa yang benar-benar dia katakan saat itu.

Aku terdiam. Di satu sisi aku kasihan dengan dia. Dia dijebak oleh bunglon. Didesak dan dimanipulasi. Tapi disisi lain, aku kecewa, kenapa dia ga bisa tega dan cuek saja. Toh hidup mati orang siapa yang tau.

Hati kecilku berbisik, hei, kau lupa, yang membuat kau jatuh cinta pada dirinya, ya sifatnya ini. Sifat dia yang tak tegaan. Yang penuh kasih, pada siapapun. Kucing terlantar selalu dia rawat. Anggap saja bunglon ini kucing sekarat. Temani dia dalam kekacauan ini, bantu dia, hanya sementara aja kan. Setelah kucing ini cukup sehat, kamu bisa meminta dia untuk meninggalkannya.

Aku terdiam, terus menimbang-nimbang. Sebenarnya aku paham bahwa ini pintu masuk daripada neraka. Neraka di atas dunia. Duniaku. Namun aku jg tak tega. Bunglon menjebak dia. Dia korban. Dan bisikan hati kecilku makin terdengar keras.

Setelah berpikir cukup lama, aku memberikan jawaban. Baiklah, kita hadapi masalah ini bersama-sama ya. Aku temani kamu, kita cari solusi masalah ini bersama. Dia tersenyum. Aku tersenyum.

Mobil mulai berjalan pulang. Sepanjang perjalanan kami hampir tak berkata apa-apa lagi. Aku terus memegang tangannya. Mencoba mengingatkan bahwa aku disini buat kamu. Jangan takut. Aku berusaha keras agar tidak terlarut dalam emosi. Hingga sampai di rumahnya, dan kamipun berpisah.

Di perjalanan pulang aku terus mengulang-ulang kejadian tadi. Apakah ini tindakan benar? Apakah yang bisa dilakukan untuk ini? Apakah ini semua benar-benar terjadi? bukan mimpi kan ya. Ah aku pusing. Aku rebahkan diri di kasur mencoba tidur. Biarlah, masalah ini dipikirkan besok. Aku terlalu lelah.

Aku tak tahu, bahwa ini adalah awal dari serangkaian dilema dan prahara.

TO BE CONTINUED

1 komentar: